MEREBEJA.COM – Demokrasi di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Ancaman terhadap sistem ini semakin nyata, terutama dengan manuver kelompok penguasa yang secara terang-terangan mencoba mengganggu tatanan konstitusi demi kepentingan kekuasaan jangka pendek.
Dalam beberapa pekan terakhir, elit-elit politik tampak tidak segan-segan mengabaikan dua putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan pertama, Nomor 60/PUU-XXII/2024, mengatur pelonggaran ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik.
Putusan kedua, Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa batas usia pencalonan kepala daerah harus dipenuhi saat pendaftaran.
Namun, alih-alih menghormati putusan MK sebagai lembaga konstitusi tertinggi, upaya untuk membatalkan dua keputusan tersebut dilakukan secara terang-terangan melalui pembahasan cepat rancangan undang-undang (RUU) Pilkada.
Proses legislasi ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama tentang masa depan konstitusi dan demokrasi Indonesia, mengingat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Ini bukanlah kasus pertama di mana kekuasaan digunakan untuk mempercepat legislasi yang kontroversial. Beberapa undang-undang krusial lainnya, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, dan UU Ibu Kota Negara (IKN), juga disahkan tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai.
Di sisi lain, sejumlah RUU yang lebih mendesak bagi kepentingan masyarakat, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan RUU Perlindungan Data Pribadi, terus terabaikan.
Dalam situasi genting ini, peran media dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi menjadi sangat vital. Media harus tetap waspada dan tegas dalam menghadapi segala upaya kekuasaan yang bertujuan melumpuhkan demokrasi.
Jika putusan MK bisa dibatalkan dalam sekejap, maka tidak mustahil undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi juga akan perlahan-lahan dilucuti. Setidaknya, ancaman ini sudah pernah terjadi dalam rencana revisi undang-undang penyiaran, yang justru memberi ruang lebih besar bagi negara untuk mengontrol isi siaran.
Di tengah tekanan oligarki yang semakin kuat, media harus mempertahankan integritasnya sebagai benteng terakhir demokrasi.
Tanpa perlawanan yang kuat, kita berisiko memasuki era baru di mana kebebasan berbicara dan berekspresi semakin dibatasi, dan demokrasi kita menjadi hanya sekadar nama tanpa makna yang sebenarnya.