MEREBEJA.COM- Jumlah korban meninggal dunia akibat erupsi gunung Lewotobi laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, bertambah menjadi 10 orang. Erupsi itu terjadi pada Minggu (3/11/2023) Pukul 23:57 wita.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdata 14 desa terdampak. Enam diantaranya di Kecamatan Wulanggitan, yakni desa Pululera, Nawakote, Hokeng Jaya, Klatanlo, Boru dan Boru Kedang.
Di Kecamatan Ile Bura, sebanyak 4 desa yaitu, Desa Dulipali, Nobo, Nirabelen dan Riang Reta. Empat lainya di Kecamatan Titehena, Desa Konga, Kobasoma, Bokang Wolomatang dan Watowara.
Berdasarkan data BNPB, populasi jiwa terdampak sebanyak 2.734 kepala keluarga dari 10.295 jiwa.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Flores Timur, Ferdy Moat Aeng, mengatakan, korban meninggal dunia itu karena tertimpa batu besar yang menembus rumah warga.
“Korban meninggal dunia ini sudah dievakuasi dari puing-puing bangunan,” katanya.
Ia menyambung, belum terhitung total kerugian dari peristiwa itu karena para petugas masih fokus mencari korban pada bangunan-bangunan rusak.
Kekecewaan Masyarakat Terdampak Erupsi
Dilansir dari pemberitaan Merebeja.com sebelumnya bahwa, masyarakat terdampak merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Flores Timur. Pasalnya, sejak erupsi pertama mereka tidak mendapatkan bantuan dari Pemda dan bantuan yang masuk hanya dari solidaritas pihak ketiga.
“Erupsi Gunung Lewotobi terjadi sejak Desember 2023 hingga saat ini yang membuat atap rumah penduduk hancur. Tetapi, sampai sekarang belum ada tindakan serius baik dari pemerintah daerah maupun pusat,” kata Vincent warga Klatanlo, Kec. Wulanggitan kepada Merebeja.com pada Rabu 16 Oktober malam.
Lanjut Vincent menerangkan, pasca erupsi Gunung Api, mereka hanya terima bantuan solidaritas dari pihak ketiga, bukan dari pemerintah daerah.
“Bantuan yang masuk, itu dari yayasan, kelompok, dan orang yang ada di perantauan. Pemda belum sampai hari ini,” pungkas Vincent.
Ia mengaku, pernah dapat informasi bahwa, Pemda Flotim membantu masyarakat di desa Dulipali Kecamatan Ile Bura yang juga menjadi korban abu vulkanik, sebesar 250 juta. Namun sayangnya, dana itu tidak sampai ke masyarakat.
Demikian perilaku Pemda Flotim, kata Vincent, masyarakat (16/10/2024) lalu, yang mampu memperbaiki atap rumah, hanya orang yang memiliki penghasilan tetap. Selain itu, tergolong kelas bawah sehingga masih menggunakan terpal untuk berlindung. Bahakan, ada yang masih bertahan dengan atap bolong sampai sekarang.
“Akibat abu vulkanik produktivitas tanah menurun membuat penghasilan petani pun semakin memburuk. Jadi kami mau memperbaiki atap rumah atau membeli makanan untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kata Vincent, karena atap rumah telah hancur sehingga tidak ada lagi tempat untuk berlindung disaat hujan. Mereka hanya bisa pasrah menikmati air bercampur belerang dan pasir yang masuk ke dalam rumah.
“Memprihatinkan sekali kondisi kami saat ini. Sampai sekarang saya belum tidur, karena atap rumah bocor jadi masih duduk untuk menjaga,” kata dia.
Vincent menerangkan, selain atap rumah warga, atap sekolah juga hancur.
Ia berharap, Pemda Flotim bisa membuka mata untuk melihat kondisi masyarakat.
“Jangan hanya diam saja. Kami di Kecamatan Wulanggitan termasuk Kabupaten Flores Timur atau bukan,” tukasnya.***