MEREBEJA.COM – Sastra khususnya puisi, belakangan ini cukup menjadi tren yang banyak digandrungi oleh anak-anak muda milenial di sosial media. Hal itu ditandai dengan munculnya konten-konten kreatif yang bermuatan sastra di platform-platform kekinian sperti TikTok, Youtube dan lain sebagainya. Kehadiran komunitas-komunitas literasi pun menajadi sangat marak.
Komunitas Penikmat Puisi dan Genitri berkolaborasi pada Ahad, 19 Mei 2024 untuk mengadakan acara bedah buku puisi karya seorang dosen UIN Semarang, Eko Widianto yang saat ini sedang menempuh studi S-3 nya di University of Galway Irlandia dan University of Montana USA pada jurusan International Cultural Studies dan Linguistik-Antropologi.
Acara tersebut dibuka oleh Rahayu Hestinengsih dengan menyapa para peserta yang hadir melalui Zoom lalu dipandu oleh Nugroho Putu sebagai moderator dengan membacakan bionarasi penulis dan dua pembedah.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari Rilen Dicki, seorang penyair asal Padang. Menurutnya, buku yang berjudul Mengunjungi Kayangan tersebut menyoroti aspek-aspek kehidupan sosial.
“Puisi Mas Eko ini lebih menyoal kehidupan sosial. Covernya menarik,” papar Rilen.
Penulis asal Padang tersebut juga menyoroti dari daftar isi buku yang hendak ia bedah.
Rilen membag isi buku menjadi tiga segmen. Ia juga mempertanyakan mengenai kenapa di bagian ketiga tidak ada puisi Penutup Kayangan.
“Kayangan yang dimaksud dalam buku ini adalah kayangan yang lain. Mas Eko membangun konsep kayangan seperti sedang membuat negera baru. Beliau membagi bagian-bagian itu. Mulai dari selamat datang ke kayangan; makhluk-mahkluk kayanyan; hingga kebun sekalipun,” ujarnya.
Selain itu, Rilen berpandangan bahwa buku yang ditulis Eko Widianto tersebut menceritakan tentang romantisme kerinduan terhadap sosok ayah dan ibu.
Begitulah pemantik singkat dari Pemateri pertama, lalu acara dilanjut dengan pembacaan puisi oleh Dansain yang berjudul Ingin Pulang, salah satu isi buku yang sedang dibedah dalam acara tersebut.
Acara dilanjut dengan pemaparan dari Romzul Falah, penyair muda asal Sumenep Madura yang namanya sudah cukup dikenal.
Romzul menyampaikan, ketika ia membaca judul puisi Mitos Surga yang Tidak Ada, ia langsung teringat dengan kitab-kitab suci dalam tradisi agama Abrahimik khususnya Islam dan Kristen.
“Kesan pertama ketika menerima buku ini, bayangan saya langsung tertuju kepada surga dalam tradisi agama abrahimik, seperti Katolik dan Islam,” ungkap Romzul di awal paparannya.
Jadi menurut Romzul, buku tersebut salah satunya berbicara soal teologis dalam keyakian agama-agama samawi, yaitu tentang surga atau kayangan. Hal itu menurutnya, selaras dengan salah satu pengantar yang ada dalam buku tersebut.
Untuk menguatkan persepsinya tersebut, Romzul mengutip Al-Kitab, Wahyu 21: 18-20:
21:18 Tembok itu terbuat dari permata yaspis; z dan kota itu sendiri dari emas tulen, bagaikan kaca murni. a 21:19 Dan dasar-dasar tembok kota itu dihiasi dengan segala jenis permata. b Dasar yang pertama batu yaspis, c dasar yang kedua batu nilam, dasar yang ketiga batu mirah, dasar yang keempat batu zamrud, 21:20 dasar yang kelima batu unam, dasar yang keenam batu sardis, d dasar yang ketujuh batu ratna cempaka, yang kedelapan batu beril, yang kesembilan batu krisolit, yang kesepuluh batu krisopras, yang kesebelas batu lazuardi dan yang kedua belas batu kecubung.
Lalu ia mengkomparasikan dengan Al-Quran surah Muhammad ayat 15 dan Al-Zukhruf ayat 71:
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?”
“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.”
Penulis asal Sumenp tersebut juga mengungkapkan tiga sudut pandang yang berbeda mengenai mitos.
“Mitos bagi masyarakat Pra Modern dianggap kebeneran. Mitos dianggap sebagai metafor oleh masyarakat Modern. Sedangkan Sekuler, mengganggap surga dan neraka ketika membaca kitab suci sebagai representasi kebaikan dan keburukan,” ungkap Romzul.
“Ketika kita percaya surga dan neraka, ketika menggunakan sudut pandang masyarakat pra modern. Disengaja atau tidak,” sambungnya lagi.
Sama seperti pemateri pertama, Romzul juga menjelaskan terkait tiga bagian buku tersebut namun dengan versi yang berbeda: Tidak Ada Mitos; Tidak Ada Mitos dan Surga; Mitos Surga.
Puisi Salamat Datang di Kayangan menurutnya, terkesan formal, seperti menceritakan soal birokrasi, rapat dan lain sebagainya. Hal ini tidak seperti di kitab-kitab suci.
“Ada hal duniawi di kayangan di beberapa puisi Mas Eko. Sehingga masih ada tanda tanya mengenai kayangan ini. Mungkin kayangan ini merujuk ke sebuah negara, yang Mas Eko tempati sebelum keluar negeri: Indonesia,” lanjut Romzul.
Menurutnya pula, Kayangangan dalam buku Eko W. bisa juga bermaksud bukan lagi tentang kritik tapi kiasan terhadap tempat tertentu.
Romzul juga mengutip pandangan Penyair Profetik, Acep Zamzam Noor yang menyatakan bahwa salah satu tugas menulis puisi adalah membaca realiatas.
Puisi Dewa-dewi yang ada dalam buku Mengunjungi Kayangam menurut Romzul, mengarah ke kisah Jaka Tarub.
“Ada unsur seperti itu (merujuk ke kisah Jaka Tarub) tapi tetap merujuk ke surga yang kita yakini tapi dibikin lebih fresh, menarik. Di sini ada humor, tidak seperti surga yang biasa kita ketahui,” ungkapnya.
“Ada humor untuk mengabarkan kecantikan dewa-dewi. Ini menarik. Mengintip di tempat yang suci dan kudus,” sambung Romzul.
Itulah catatan singkat yang disampaikan oleh Romzul Falah untuk mengilustrasikan isi buku yang tengah ia bedah dengan persepsinya dan narasinya yang sangat menarik.
Setelah itu, acara dilanjut dengan pembacaan puisi oleh Iis Singgih dengan judul Kidung Pengelana.
Eko Widianto salaku penulis menanggapi paparan dua pembedah tersebut.
“Menjawab pertanyaan Uda Rilen dan Mas Romzul. Saya meyakini bahwa penulis tabu membicarakan karyanya,” kata Eko.
“Terima kasih untuk Mas Romzul yang mendetailkan puisi saya yang mungkin saya sendiri ketika menulisnya tidak sedetail itu,” lanjut Dosen UIN Semarang tersebut.
Eko W. juga bercerita bahwa karya-karyanya pernah dikomentari oleh sahabatnya, Sosean Leak, yang menganggap dirinya tidak cocok menulis puisi kritik sosial tapi lebih cocok menulis puisi romantik.
Acara dilanjut dengan sesi tanya jawab;
Musikalisasi Puisi oleh Rahayu Hestiningsih dan diakhiri dengan statement penutup oleh Eko Widianto.
Di sesi diskusi tersebut Rilen kembali menegaskan pandangannya yang cukup berbeda dengan paparan Romzul.
“Walau demikian; saya memang agak bersepakat dengan Mbak Okky Madasari yang memberi prolog buku ini, tentang konsep di cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis, saya yakin juga dari cover dan pandangan Mbak Okky ini Mas Romzul sebagai pembedah juga masuk, membahas tentang Mitos Sorga,” tandasnya.
“Saya lebih masuk ke wilayah tekstual. Apa sebenarnya yang dimaksud Mas Eko dengan kata puisi-puisi ringan pada cover buku ini? Adakah puisi berat? Dan masih banyak lagi. Teks-teks dalam buku ini saya pertegas membangun kayangan yang lain,” tutup Rilen menegaskan.