ÉKOSISTEM

Kisruh Perubahan Status Gunung Mutis, Penolakan Warga Adat Diabaikan

×

Kisruh Perubahan Status Gunung Mutis, Penolakan Warga Adat Diabaikan

Sebarkan artikel ini
Suasana pelaksanaan ritual di Gunung Mutis oleh masyarakat adat Desa Noepesu dan Desa Fatuneno sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan Taman Nasional Mutis Timau pada 30 Oktober 2024. (Foto: TribunFlores.com).
Suasana pelaksanaan ritual di Gunung Mutis oleh masyarakat adat Desa Noepesu dan Desa Fatuneno sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan Taman Nasional Mutis Timau pada 30 Oktober 2024. (Foto: TribunFlores.com).

MEREBEJA.COMPolemik perubahan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional Mutis Timau terus bergulir dan memicu penolakan dari warga adat.

Masyarakat adat, khususnya yang bermukim di Desa Noepesu, menilai kebijakan ini bukan hanya mengabaikan kearifan lokal, tetapi juga mengancam hak hidup mereka yang bergantung pada keseimbangan alam.

Antonius Banu (77), tokoh adat dari Noepesu, sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara itu, menyampaikan keresahan mendalam atas keputusan pemerintah tersebut.

“Gunung Mutis adalah sumber air dan kehidupan kami. Jika taman nasional hanya akan membatasi ruang gerak kami, lebih baik kami mati saja daripada dipisahkan dari tanah ini,” katanya.

Menurut Antonius, Pegunungan Mutis yang mencakup tiga puncak utama—Nuaf Muna, Nuaf Nefomasi, dan Nuaf Nupala—selama ini telah menjadi pusat ekosistem yang menopang kehidupan pertanian di tiga kabupaten, yakni Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, hingga Malaka.

Bahkan, air dari gunung ini mengalir hingga ke Timor Leste.

“Kami hidup dengan cara yang diwariskan nenek moyang. Kami menjaga alam, bukan merusaknya,” tambahnya.

Di sisi lain, Servasius Anin (68), warga setempat, turut menyuarakan protes.

“Kami sudah menjaga Mutis sejak dari leluhur kami. Kami tidak pernah menyentuh hutan secara sembarangan. Jika aturan adat dilanggar, ada konsekuensi. Kini, ketika taman nasional ditetapkan, aturan kami tidak dihargai,” katanya.

Baginya, keberadaan Taman Nasional justru berpotensi menghilangkan tradisi ritual adat, seperti meminta hujan atau melakukan doa syukur pasca panen.

Minimnya Sosialisasi dan Kekhawatiran Eksploitasi

Kepala Desa Noepesu, Yoseph Mamo, menyayangkan minimnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat.

Menurutnya, sosialisasi terkait kebijakan ini hampir tidak ada. “Tiba-tiba SK sudah ada. Kalau kebijakan ini baik, seharusnya ada dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat adat,” ungkapnya.

Yoseph menambahkan bahwa kawasan Mutis memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam bagi warga adat.

Situs-situs seperti Haumonef—kayu sakral simbol kekuatan marga—dan Waekanaf—sumber air suci—tidak bisa dimasuki sembarangan tanpa ritual khusus. “Ini bukan sekadar tanah, ini warisan leluhur kami,” tegasnya.

Sementara itu, dalam diskusi publik bertajuk “Quo Vadis Mutis?” yang digelar oleh Walhi NTT pada 6 Desember 2024, anggota DPRD NTT Komisi IV, Nelson Matara, turut menyoroti potensi eksploitasi kawasan tersebut.

Ia khawatir, perubahan fungsi ini akan membuka pintu bagi aktivitas tambang atau alih fungsi lahan.

“Siapa yang menjamin pohon-pohon Ampupu tidak akan digantikan tanaman budidaya? Apakah investor akan dilibatkan dalam pengelolaan Mutis?” tanyanya.

Sementara itu, pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT melalui Dadang Suryana menjelaskan bahwa perubahan ini adalah “perubahan fungsi, bukan penurunan status,” sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun, penjelasan ini belum memuaskan warga adat dan para aktivis lingkungan yang hadir pada diskusi itu.

Masyarakat Tetap Menolak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) resmi menetapkan Taman Nasional Mutis Timau pada 8 September, menggantikan status sebelumnya sebagai Cagar Alam Mutis Timau.

Pengumuman ini disampaikan secara daring melalui telekonferensi dari Denpasar, Bali, bersama Tim Bezos Earth Fund, sebuah lembaga filantropi asal Amerika Serikat.

Di salah satu lokasi kawasan taman nasional yang memiliki luas 78.789 hektare, sekelompok warga turut berpartisipasi. Mereka mengenakan pakaian adat dan berdiri di depan sebuah poster besar bertuliskan “Deklarasi Taman Nasional Timau.”

Namun, deklarasi ini menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat adat Timor yang menilai keputusan tersebut dilakukan secara sepihak oleh KLHK.

Protes dari warga Timor Tengah Utara (TTU) ini berujung pada aksi demonstrasi yang berlangsung pada 7 dan 14 November.

Masyarakat adat yang tergabung dalam aksi protes tersebut menyatakan penolakan tegas terhadap penetapan Taman Nasional Mutis.

Mereka menilai kebijakan ini dibuat tanpa menghormati hak-hak adat dan berpotensi merusak keseimbangan lingkungan yang telah mereka jaga selama berabad-abad.

“Jika keputusan ini tetap dipaksakan, kami akan tetap bertahan di tanah leluhur kami, apapun risikonya,” tegas Antonius Banu.

Bagi warga adat Mutis, perjuangan ini bukan sekadar menjaga lahan, melainkan mempertahankan identitas budaya, tradisi, dan keberlangsungan hidup mereka.

Polemik ini kini menjadi ujian serius bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat adat.

Apakah suara mereka akan didengar, ataukah kepentingan ekonomi akan lebih diutamakan? Hanya waktu yang akan menjawab.***