SAWANGAN

Mood di Ujung Jempol: TikTok dan Krisis Emosi Kaum Hawa

×

Mood di Ujung Jempol: TikTok dan Krisis Emosi Kaum Hawa

Sebarkan artikel ini
Mood di Ujung Jempol: TikTok dan Krisis Emosi Kaum Hawa. Foto: pinterest/nasrin
Mood di Ujung Jempol: TikTok dan Krisis Emosi Kaum Hawa. Foto: pinterest/nasrin

Oleh: Marianus Dewalking

Media sosial, khususnya TikTok, kini telah menempati bagian krusial dalam berbagai aspek kehidupan generasi muda kita, terutama bagi kaum hawa. Dengan algoritma yang canggih, TikTok mampu menyajikan konten yang sesuai dengan minat pengguna. Namun, ketergantungan pada beranda FYP (For Your Page) sering kali membawa dampak negatif, terutama pada kesehatan mental dan hubungan sosial.

Dr. Jonathan Haidt, seorang psikolog dan penulis sosial asal Amerika, dalam penelitiannya mengenai dampak media sosial, mengungkapkan bahwa platform seperti TikTok cenderung memperkuat emosi negatif pada penggunanya. “Media sosial menciptakan lingkungan yang memperburuk rasa cemas dan tidak aman, terutama bagi perempuan muda yang lebih peka terhadap dinamika sosial,” ujarnya. Hal ini terlihat pada individu yang sering merasa terluka, sedih, atau kesepian hanya dengan melihat kutipan atau video tentang hubungan cinta di TikTok, meskipun di kehidupan nyata tidak ada masalah signifikan yang terjadi.

Salah satu fenomena yang kerap muncul adalah ketika perempuan terlalu menginternalisasi apa yang mereka lihat di TikTok, baik itu tentang cinta maupun tantangan dalam kehidupannya. Ini dapat menimbulkan tekanan emosional yang tidak perlu. Misalnya, seseorang dapat merasa rendah diri atau patah hati setelah melihat video tentang pasangan ideal, yang sebenarnya belum tentu relevan dengan situasi hidup mereka. Ironisnya, mereka sering kali mengabaikan dukungan yang nyata dari orang-orang di sekitarnya.

Sebagai antitesis, di Negara-negara maju seperti Finlandia dan Swedia, penggunaan TikTok lebih terarah dan bijaksana. Hal ini terkait dengan tingginya tingkat literasi digital dan pendidikan emosional di negara-negara tersebut. Di sana, TikTok sering dimanfaatkan sebagai alat pendidikan dan sarana untuk mempromosikan kreativitas. Mereka menyadari bahwa konten di media sosial bukanlah realitas, melainkan hanya narasi yang dikurasi oleh algoritma. Sebagai contoh, pemerintah Finlandia bahkan mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah, membantu generasi muda memahami cara menggunakan media sosial dengan bijak.

Realita ini menekankan pentingnya pendidikan emosional dan literasi digital di Indonesia. Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo juga mengingatkan bahwa “algoritma media sosial dirancang untuk membuat kita terjebak dalam siklus konsumsi konten, sehingga sangat penting bagi pengguna untuk dapat menyaring informasi dan menjaga keseimbangan emosi.”

Sebagai solusi, generasi muda perlu lebih peka terhadap dampak algoritma media sosial serta impact nya terhadap emosi dan kehidupan mereka. Jangan biarkan FYP menentukan mood harian atau memengaruhi arah pandangan hidup. Mulailah dengan membatasi waktu penggunaan media sosial, menyaring konten yang dikonsumsi, dan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang terdekat. Salah satu langkah nyata yang bisa dilakukan adalah menetapkan batas waktu harian untuk bermain TikTok, agar aktivitas ini tidak mendominasi keseharian. Selain itu, mematikan notifikasi TikTok dapat membantu mengurangi dorongan membuka aplikasi secara impulsif, Kemudian memilah dengan cara menghindari konten sensasional yang memancing emosi berlebihan, serta fokus pada akun yang memberikan nilai edukasi atau motivasi.

Media sosial, termasuk TikTok, seharusnya berfungsi sebagai alat untuk belajar, berbagi inspirasi, dan menciptakan peluang, bukan sebagai sumber tekanan emosional. Kesadaran akan dampak algoritma dan kemampuan untuk mengelola emosi adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat secara mental dan sosial. Dengan pendekatan ini, generasi muda Indonesia dapat menggunakan TikTok dan media sosial lainnya dengan lebih bijak.