Oleh Sandryaka Harmin
Herbert George Wells dalam novel fiksi-ilmiahnya The World Set Free (1914) secara radikal menciptakan dunia utopia yang digambarkan dipenuhi unsur dan konsep teknologi yang saat itu belum ada di dunia nyata manusia. Menjelang tahun 90-an seolah-olah dunia utopia Wells tersebut menjadi realistis dan faktual. Sebab sebagian besar hal imajinatif dalam novel The World Set Free perlahan mulai ada.
Pada saat itu perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memang sangat pesat, masif dan sporadis. Memasuki abad ke-21 perkembangan IPTEK pun semakin kontras. Muncul beragam bentuk inovasi mutakhir. Salah satu yang paling besar adalah lahirnya era globalisasi dimana teknologi menjadi pusat aktivitas manusia. Semua urusan manusia pasti mengandung atau dikaitkan dengan unsur teknologi.
Sekarang ini teknologi dan globalisasi bukan lagi hal asing bagi seluruh masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia. Kedigdayaan globalisasi adalah frame bagi umat manusia sebab dapat dipastikan bahwa sejak manusia itu lahir sampai kepada kematian globalisasi sudah ikut campur di dalamnya. Seluruh dinamika hidup manusia sudah dipatok teknologi dan globalisasi.
Dalam dunia yang penuh dengan turbulensi ini teknologi sebagai anak kandung globalisasi ternyata juga memiliki sisi gelap, di mana semakin hari semakin beringas menjajah manusia. Muncul sebuah kecemasan kolektif di kalangan masyarakat bahwa pada suatu saat nanti otoritas penuh atas diri manusia (human) dan peradabannya bukan lagi manusia itu sendiri namun dicaplok oleh robot (artificial intelligence). Atau dalam bahasa yang sedikit sarkas manusia diperbudak teknologi. Menyangkut hal itu, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus menegaskan serentak meramal bahwa perkembangkan teknologi robotik yang begitu masif setiap tahunnya mampu memberikan gambaran sekaligus kecemasan pada manusia bahwa di masa depan hal itu dapat mendatangkan dua kemungkinan sekaligus. Manusia bisa memaksimalkan segala energi yang ada dengan bantuan teknologi untuk mencapai apa saja yang dia mau (manusia bertransformasi dari homo sapiens menjadi homo deus) atau justru teknologi (robot) itu sendiri mengambil alih (mencaplok) kekuassan manusia dan menjajahnya.
Sekarang saja bibit-bibit penjajahan tersebut mulai nampak. Di mana-mana smartphone addiction atau ketergantungan akut pada gawai terjadi pada semua kalangan terutama generasi milenial, yakni para pelajar dan kaum muda. Dilansir dari IDN Times (06/11/2024) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2022 sebanyak 33,44 persen kaum milenial Indonesia mengalami ketergantungan pada gawai. Hal itu terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan peningkatan kasus kecanduan ponsel/gadget pada anak-anak acap kali berujung pada masalah kesehatan mental, gangguan prilaku, serta berkurangnya kemampuan sosial.
Lebih jauh dijelaskan bahwa sebagian besar waktu yang dihabiskan para milenial adalah browsing hal-hal yang tidak bermanfaat dan non edukatif di internet melalui gawainya tersebut.
Degradasi Intelektual di Lembaga Akademik
Di sisi lain kecanduan gawai tersebut ternyata menimbulkan masalah kompleks. Di perguruan tinggi/universitas banyak mahasiswa lebih menyukai bermain handphone dan melakukan hal-hal yang tidak perlu di internet dari pada membaca buku dan berdiskusi/bertukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen di kampus. Segelintir dari mereka beralasan kalau membaca buku dan update infomasi penting dari internet cepat bosan. Demikian pun jika berdiskusi. Maka tidak heran jika Indonesia didaulat oleh UNESCO sebagai negara dengan minat baca masyarakatnya yang sangat memprihatinkan hanya 0,001%. Artinya dari seribu orang Indonesia cuma satu orang yang rajin membaca.
Akibat logis dari semua itu, terjadi degradasi intelektual secara besar-besaran terutama di kalangan mahasiswa. Karena keseringan mengonsumsi gawai, mahasiswa sulit membuat keputusan, sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, prestasi menurun, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif. Kesemua itu tidak lain merupakan bentuk dari menurunnya kemampuan intelektual seorang mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi berbagai macam persoalan justru mati kutu karena tidak mempunyai kapasitas dan kualitas sama sekali. Lebih parahnya, berdasarkan data yang disajikan Word Population Review, IQ nasional Indonesia adalah 78,49. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-130 dari total 199 negara yang diuji. Dan berada pada posisi kedua dari bawah di Asia Tenggara setelah Timor Leste.
Seperti yang diketahui kemampuan intelektual sangat penting bagi siapa pun. Sebab dengan kemampuan intelektual yang mumpuni seorang dapat mengatasi beragam persoalan yang ada. Lebih dari itu kemampuan intelektual adalah salah satu tolok ukur utama dalam setiap bidang di dunia bisnis atau pekerjaan manusia. Seorang dengan kualitas intelektual yang baik tentu akan mendapat banyak kesempatan dan kepercayaan dalam bisnis. Kemampuan intelektual yang baik dapat membantu orang dalam bekerja dan melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
Kemerosotan intelektual di kalangan mahasiswa adalah masalah pelik yang harus segera diatasi mengingat banyak fenomena negatif pada mahasiswa yang kemudian bermunculan karena hal tersebut. Dua di antaranya yang paling kentara adalah duck syndrome dan generasi strawberry.
Duck Syndrome
Duck Syndrome adalah istilah yang mengacu pada perilaku yang terlihat baik-baik saja, tenang, tampak bahagia meskipun sebenarnya seseorang memiliki banyak masalah, beban, dan tekanan. Istilah ini pertama kali digunakan di Universitas Stanford, Amerika Serikat untuk menggambarkan persoalan para mahasiswanya.
Nama Duck Syndrome berasal dari analogi bebek yang berenang. Saat bebek berenang, kita hanya bisa melihat bagaimana tubuh bagian atas yang bergerak perlahan dan tenang. Padahal kakinya berjuang keras untuk terus bergerak agar tubuhnya tetap stabil di atas permukaan air.
Syndrome ini umum terjadi pada mereka yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah, atau pada orang dewasa muda yang baru mulai memasuki dunia kerja. Sindrom bebek menjelaskan orang tampak tenang dan bahagia tetapi sebenarnya berada di bawah banyak tekanan, beban, dan kepanikan dalam mencapai tuntutan hidupnya. Bagi mahasiswa tekanan tersebut dapat berupa tuntutan akademik dan perfeksionisme akut.
Generasi Strawberry
Generasi strawberry adalah sebuah istilah yang menggambarkan fenomena generasi muda saat ini. Dimana mereka biasanya memiliki ide dan kreatifitas yang tinggi, namun saat diberi sedikit tekanan mereka mudah hancur layaknya buah strawberry.
Seperti yang disebutkan oleh Prof. Rhenald Kasali, generasi ini merupakan generasi yang memiliki banyak ide cemerlang serta kreatifitas yang tinggi. Tapi sayangnya, mereka mudah sekali untuk menyerah, mudah sakit hati, lamban, egois, serta pesimis terhadap masa depan.
Jika ditelusuri ke belakang, istilah generasi stroberi pertama kali muncul di negara Taiwan untuk menggambarkan generasi muda yang lahir setelah tahun 1981 (post-80) dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan sosial tak seperti orang tua mereka semasa muda. Generasi strawberry dicirikan dengan; suka terjebak dalam zona nyaman, tidak memiliki rasa tanggung jawab, dan mudah menyerah.
Akhir Kata
Kedigdayaan teknologi (artificial inteligen) banyak mendatangkan dampak bagi manusia. baik dampak positif maupun dampak negatif. Namun kecenderungan yang terjadi sekarang terutama di kalangan kaum muda seperti mahasiswa adalah hasrat untuk mengonsumsi teknologi yang mengarah pada dampak negatif. Kita tidak bisa menutup mata, generasi milenial seperti mahasiswa rentan mengalami kemerosotan intelektual bahkan sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Kemunculan duck syndrome dan generasi strawberry di kalangan mahasiswa adalah konsekuensi logis dari kemerosotan intelektual tersebut. Pasalnya kemampuan intelektual yang sangat minim membuat mahasiswa tidak mampu mengatasi berbagai macam persoalan baik eksternal maupun internal.