SAWANGAN

Kontradiksi Lahirkan Lesadaran Anak-anak di Poco Leok

×

Kontradiksi Lahirkan Lesadaran Anak-anak di Poco Leok

Sebarkan artikel ini
Di Poco Leok, Anak-anak Usia Dibawah Umur Mengecam Kehadiran Geothermal. Ket Foto. Istimewa.
Di Poco Leok, Anak-anak Usia Dibawah Umur Mengecam Kehadiran Geothermal. Ket Foto. Istimewa.

Oleh. M Izul Said

Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memicu berbagai gelombang penolakan. Bahkan, suara protes tak hanya datang dari orang dewasa, melainkan juga dari anak-anak yang masih berusia dibawah 10 tahun, yang turut menyuarakan keresahan mereka.

Hal ini terjadi secara berulang kali menyaksikan perampasan hak atas tanah dan tindakan represif serta intimidasi yang kerap kali dilakukan oleh aparat terhadap orang tua mereka. Suara-suara kecil ini pun menggema, menolak kehadiran proyek yang mereka anggap merusak harmoni tanah kelahiran mereka.

Oleh karena itu, di tengah kabut tebal yang masih bergelayut, tampak anak-anak dengan keberanian yang menyala, memanggul karung-karung yang seakan berbisik pelan, menolak proyek “Geothermal” yang hendak mengusik tanah mereka.

Tertulis dengan tinta keteguhan, pesan-pesan ini tak hanya mewakili suara mereka, tetapi juga semangat yang tak pernah padam.

Ini adalah ungkapan nyata dari perlawanan mereka terhadap rezim yang mereka anggap telah merampas hak-hak mereka dan menghancurkan masa depan mereka dengan kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

“Geothermal” yang merupakan sumber energi terbarukan yang memanfaatkan panas dari dalam bumi, seharusnya menjadi alternatif energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Namun, dalam praktiknya, proyek ini sering kali dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar dan pemerintah, yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi dari pada kesejahteraan masyarakat lokal.

“Geothermal itu milik siapa ?” Sumber daya geothermal seharusnya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia, namun kenyataannya, hak atas pengelolaannya sering kali dipegang oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi kuat dengan penguasa.

Masyarakat setempat merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka.

Hal ini menciptakan ketidakadilan yang mendalam, di mana keuntungan dari sumber daya alam yang seharusnya dinikmati bersama malah terakumulasi pada segelintir orang.

Dampak dari proyek geothermal ini sangat besar dan beragam.

Pertama, ada risiko kerusakan lingkungan, termasuk penurunan kualitas tanah dan pencemaran sumber air.

Masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka akan merasakan dampak langsung, seperti hilangnya hasil pertanian atau gangguan pada ekosistem yang mereka andalkan.

Kedua, ada potensi perampasan tanah yang lebih luas, di mana tanah yang mereka miliki secara turun-temurun diambil alih untuk proyek-proyek yang tidak melibatkan mereka.

Dalam situasi negara setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, Tentu cita-cita anak- anak di Poco Leok seolah dibekukan atau bahkan dimatikan demi keuntungan segelintir pihak yang berkuasa.

Reforma agraria yang seharusnya memberikan harapan bagi mereka kini berubah menjadi alat bagi rezim untuk merampas hak atas tanah mereka secara sistematis.

Bukannya melindungi atau memperjuangkan hak-hak rakyat, kebijakan ini justru mendatangkan ketidakadilan dan rasa ketidakberdayaan bagi mereka yang tidak memiliki kuasa.

Bagi masyarakat Poco Leok, proyek geothermal bukan sekadar pembangunan infrastruktur, ini adalah simbol dari perampasan hak atas tanah yang telah berlangsung lama.

Mereka merasakan pengkhianatan karena tanah leluhur mereka, yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sumber kehidupan, kini berada dalam ancaman besar.

Mereka sadar bahwa keputusan yang diambil oleh penguasa tidak pernah melibatkan aspirasi mereka.

Masa depan anak-anak mereka yang penuh harapan seakan dipatahkan di hadapan mereka, dibekukan dalam sistem yang memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat.

Keluhan atas cita-cita gemilang anak-anak sebagai penerus bangsa yang besar ini pun semakin terasa, karena mereka menyaksikan dan ribuan pasang mata menjadi saksi sejarah bahwa harapan mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik direnggut oleh kekuatan yang lebih besar.

Masyarakat Poco Leok dengan tegas menyatakan bahwa mereka menolak proyek ini, karena mereka tahu bahwa ini bukan hanya soal listrik atau energi, tetapi soal hak asasi, soal keberlanjutan hidup, dan soal harapan yang telah mereka tanamkan untuk generasi mendatang.

Dampak dari proyek geothermal ini, yang sering kali tidak diperhitungkan, meliputi kerusakan lingkungan, perubahan kualitas tanah dan air, serta hilangnya mata pencaharian.

“Upaya pemerintah untuk melanggengkan proyek geothermal” tentu terlihat dari kebijakan yang mendukung investasi dan pengembangan energi terbarukan.

Namun, kebijakan ini sering kali dijalankan tanpa dialog yang terbuka dengan masyarakat setempat.

Keputusan yang diambil cenderung lebih menguntungkan penguasa dan segelintir pihak, sementara hak-hak masyarakat setempat diabaikan.

Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan atau evaluasi dampak lingkungan, sehingga mereka merasa terasing dari sumber daya yang seharusnya mereka nikmati.

Mereka menyadari bahwa suara mereka harus didengar, bahwa tanah mereka adalah identitas mereka, dan bahwa melawan adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah mereka pelihara dan rawat selama ini.

Melalui penolakan ini, masyarakat Poco Leok menegaskan bahwa masa depan mereka tidak boleh dikorbankan demi kepentingan yang sempit.

Mereka berjuang untuk hak mereka atas tanah, lingkungan yang bersih, dan kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.***