MEREBEJA.COM- penangkapan dan pemukulan terhadap 4 warga dan jurnalis pada 2 Oktober lalu di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dalam polemik geothermal menuai berbagai kecaman. Hari ini, Aliansi Penolakan Geothermal geruduk kantor DPRD Provinsi untuk meminta pernyataan sikap atas situasi tersebut. Namun sangat disayangkan, kehadiran mereka tidak mendapat sambutan baik, akan tetapi kembali diperhadapkan dengan aparat gabungan Satpol-PP dan Polisi.
“Kami justru mendapati sebuah kekecewaan, karena kami tiba di DPRD Provinsi Pukul 10:00, namun tidak ada satupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTT yang ada di sana,” kata Febri kepada merebeja.com pada (11/10/2024) setelah aksi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun aliansi, kata Febri, DPRD Provinsi melakukan rapat paripurna pada pukul 14:00 wita. Oleh karena itu, aliansi menilai bahwasanya DPRD tidak mampu menampung aspirasi masyarakat. Penilaian itu terjadi, lantaran saat aksi pertama pada (3/10/2024) minggu lalu, DPRD Provinsi menyatakan bahwa akan menyampaikan pernyataan sikap paling lambat 2 hari, namun hingga saat ini belum dilakukan.
“Kami berharap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTT, berhenti memberikan janji-janji palsu, karena selama ini hanya janji, janji dan janji namun sampai sekarang belum ada yang ditepati, dan kami juga menuntut DPRD agar menyampaikan pernyataan sikap bahwa mereka mendukung perjuangan rakyat Poco Leok untuk menentang proyek geothermal yang mengancam ruang hidup masyarakat,” ujarnya.
Lanjut Febri menuturkan, saat aksi berlangsung yang di mana hal itu dilakukan untuk menyampaikan keresahan masyarakat, akan tetapi tidak ada tanggapan sama sekali dari DPRD, dan yang ada hanya upaya untuk membubarkan secara paksa massa aksi melalui aparat gabungan Satpol-PP dan Polisi, hingga sempat terjadi keributan.
“Karena kekecewaan terhadap pembubaran paksa itu, sehingga kami pun langsung bergerak dari DPRD NTT menuju ke Polda NTT,” ungkap Febri.
Di Polda NTT, Febri menjelaskan, kehadiran mereka untuk memberikan laporan secara resmi atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat Polres Manggarai terhadap warga dan pemimpin redaksi Floresa.co pada 2 Oktober lalu.
Febri mengaku, sampai pada pukul 19:55 wita, beberapa massa aksi memilih untuk bertahan di mapolda NTT untuk mengawal proses pelaporan.
Ia berharap, Kapolda dapat menindaklanjuti laporan dan mampu bersikap tegas terhadap okmun anggota Polres Manggarai yang telah melakukan tindakan kekerasan tersebut.
Aliansi tersebut merupakan gabungan dari 16 elemen gerakan yang ada di Kota Kupang. Mereka memulai aksi sejak jam 10:00 pagi di depan gedung DPRD Provinsi kemudian long marc menuju Polda NTT hingga selesai. ***