MEREBEJA.COM – Wacana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos oleh kabinet Prabowo-Gibran dilakukan untuk menopang janji kampanye mereka. Selain itu, menjadi kontroversi untuk politik akomodasi.
Selain itu, Prabowo juga tengah wara-wiri merangkul lawan politik Pilpres 2024. Partai yang menjadi rival dalam kontestasi Pilpres sebagian sudah ia temui. Di antaranya saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai NasDem.
Menanggapi wacana penggemukan kabinet itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa wacana tersebut memang sudah mulai berkembang di internal Koalisi Indonesia Maju.
“Baru bersifat internal, belum resmi dibahas dengan mengundang seluruh partai KIM. Saya berpendapat struktur kabinet memang perlu dibahas untuk menyesuaikan dengan program-program Pak Prabowo. Masukan boleh saja, tapi keputusan ada di tangan beliau. Bahwa Pak Prabowo menginginkan adanya 40 kementerian, sepenuhnya kita serahkan ke beliau,” ujar Yusril, dikutip dari detikX, Rabu (8/5/2024).
Walaupun demikian, politikus yang juga pakar hukum tata negara itu turut menyebutkan penambahan jumlah kementerian mesti melalui proses revisi. Sebab, Undang-Undang Kementerian Negara masih membatasi jumlah kementerian hanya boleh sampai 34 saja.
“Perubahan itu bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan DPR sekarang, bisa juga dilakukan dengan perppu oleh Pak Prabowo seketika setelah beliau dilantik. Unsur ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ dapat dipertanggungjawabkan karena presiden tidak bisa membentuk kabinet dengan segera sebab terhalang dengan pembatasan jumlah kementerian sebagaimana diatur dalam UU Kementerian Negara,” jelas Yusril.
Sementara itu, Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono menilai, rencana ini akan menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Kursi menteri yang diisi kader parpol disebut sebagai bentuk akomodasi politik dibanding fungsi keahlian dalam memilih kabinet.
“Karena kan kalau mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 maksimum 34. Salah satu misi pembuatan undang undang itu kan tidak terlalu banyak karena dianggap nantinya menekankan segi politik, ya akan ada banyak inefficiency. Sepertinya memang pemerintahan Pak Prabowo mengutamakan akomodasi politik,” kata Vishnu, Rabu (8/5/2024).
Dia menuturkan, jika berkaca pada negara maju seperti Amerika Serikat, jumlah menterinya terbilang ramping. Jumlahnya yang hanya 15 orang itu disebutnya dapat berjalan secara efektif.
“Kalau kita mengacu pada negara maju misalnya di Amerika Serikat, jumlah secretary-secretary, setingkat menteri, itu hanya 15 orang. Yang hanya setingkat menteri itu totalnya 25, termasuk wakil presiden. Ini kan negara maju dengan kompleksitas masalah yang sebenarnya mirip-mirip Indonesia, bahkan bentuknya lebih dari Indonesia, tetapi jumlah kabinetnya bisa efisien,” ujarnya.
Dia menyebut, jika dilihat dari sisi konstitusi, Indonesia memegang sistem parlementer. Namun dalam praktiknya, menggunakan sistem presidential semi parlementer.
“Kita kan sebenarnya presidential semi parlementer. Walaupun di konstitusi kita presidential, tapi fakta ada akomodasi beberapa partai politik di kabinet itu menunjukkan ada unsur parlemen juga. Kalau kita mau mengacu pada parlementer murni, di Inggris misalnya. Kalau saya baca di inggris, ya jabatannya yang manajerial yang mengepalai semua departemen itu 24 pejabat. Ini menunjukkan bahwa di negara maju pun yang menganut sistem parlementer kabinetnya cukup baik,” tuturnya.
Vishnu juga mengungkapkan sisi positif dan negatif jika kabinet Prabowo-Gibran bertambah jadi 40 kementerian. Menurutnya, kelebihan dari kebijakan tersebut ialah sebagai bentuk akomodasi politik dan respresentasi parpol yang mayoritas ada di kabinet.
“Stabilitas politik akan terjaga sebab semakin besar koalisi, kondisi politik terutama di DPR (terjaga). Semua kebijakan kemungkinan besar akan lolos,” ujarnya.
Sementara dari sisi minus, dia menyebut akan memungkinkan terjadi overlapping dalam tugas kementerian. Akan ada persaingan pengaruh pada kebijakan yang berorientasi pada elite ketimbang rakyat banyak.
“Yang perlu diperhitungkan oleh Pak Prabowo, mumpung masih ada waktu sampai 20 Oktober, beliau kan suka berkunjung ke luar negeri, sebagai presiden terpilih beliau bisa pelajari, bagaiamana negara maju komposisinya seperti apa, motivasinya seperti apa. Supaya begitu langsung kabinet, setidaknya memiliki kabinet yang kohesif, karyanya mumpuni, kompetensinya tinggi, yang penting team worknya berjalan,” papar Vishnu.
Adapun Pengamat Politik dari Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan, penambahan jumlah kursi kabinet itu merupakan bentuk konsekuensi Prabowo-Gibran dalam mengakomodasi hasrat politik parpol koalisi.
Dia menyebut, langkah itu bisa saja dilakukan dengan mengubah undang-undang. Namun alangkah baiknya bila tim menjabarkan argumentasinya secara terang benderang hingga publik memahaminya dengan jelas.
“Kita belum mendengar argumentasi yang dilontarkan oleh tim perumus yang punya gagasan penambahan menteri ini. Itu yang tidak terlalu mengemuka,” kata Usep dikutip dari Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).
Dia pun menegaskan sulit untuk tidak mengatakan tidak ada kepentingan akomodasi politik dalam penambahan pos kementerian tersebut. Namun dia juga mengingatkan, rencana kebijakan itu dapat menimbulkan dampak jalannya roda pemerintahan.
“Kalau ada penambahan (kementerian) prosesnya agak panjang, akhirnya mengubah undang-undang, beberapa nomenklatur juga diubah. Pengalaman yang lalu kan misalnya ada kementerian yang diubah era Gus Dur, tidak terlalu efektif pemerintahannya,” tuturnya.
“Akhirnya kalau kepentinganannya lebih kental soal akomodasi politik, akhirnya pertanyaannya dia punya keahlian apa duduki jabatan ini,” kata Usep.
Dia menyebut, langkah itu akan memperbesar anggaran pemerintah. Itu karena Prabowo menempatkan pejabat baru beserta fasilitasnya.
“Itu konsekuensi pasti ada, di tengah ada anggaran yang seharusnya diprioritaskan pada persoalan pembangunan yang masih tertinggal, infrastruktur atau pun layanan lain yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan persoalan pejabat,” katanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ditanyai mengenai hal itu, dirinya mengaku menyerahkan kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Jokowi mengaku tak memberi masukan kepada Prabowo soal penambahan kementerian.
“Kabinet yang akan datang ditanyakan dong kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih. Tanyakan pada presiden terpilih,” kata Jokowi kepada awak media di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).
“Enggak ada (masukan), enggak ada,” katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menanggapi dengan mengatakan hal itu merupakan otoritas dari presiden terpilih. Namun begitu, menurutnya, jumlah menteri saat ini sudah cukup.
“Sekarang ini kan 34 (kementerian) itu cukup ideal,” ujar Ma’ruf di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Namun, Ma’ruf mengatkan rencana penambahan jumlah kementerian/ lembaga bisa saja dilaksanakan apabila dirasa perlu.
“Tapi bisa saja lebih daripada itu (34),” tambah Ma’ruf.
“Kalau ada keperluan mungkin bisa lebih daripada itu,” lanjutnya.
Terkait dengan latar belakang calon, ia memberikan masukan kepada pemerintahan berikut. Ma’ruf menilai kabinet harus tetap diisi oleh kalangan profesional.
“Saya kira pasti tentu harus diisi kalangan profesional,” ucap Ma’ruf.
Dia menjelaskan, tokoh profesional tersebut dapat berasal dari kalangan partai politik ataupun nonpolitisi, baik tokoh profesional murni maupun tokoh organisasi masyarakat (ormas).
“Cuma profesionalnya bisa dia merepresentasikan partai-partai politik, bisa juga yang lainnya. Nanti tergantung tentu negosiasinya,” tukasnya.