Oleh Abdul Gani
Ketika tahuri di tiup dari tanah larvul ngabal, Gelegar suaranya menjumpai tetuah yang sedang mendayuh keributan tapal tanpa ada batasnya, dari sengketa yang melahirkan kudeta yang tak pernah habisnya, anak cucu menyanyikan mantra di tengah teriknya fatamorgana keadilan.
Seorang penyair yang selalu menyihir dalam sabda kata, ku jumpai di bawah terik matahari, teriaknya keadilan tak di gubris mata mahasiswa, sebab beranda lebih melahirkan birahi hingga menjumpai mereka pada lupa.
Gerombolan anak rohani prodi sedang menjiplak literatur dengan atas nama mereka, sedangkan tokoh dan filsuf di lacuri mereka tanpa bersalah, menjiplak hingga tak bersalah, selamanya menjadikannya hilaf di medan tempur yang tak berkesudahan, kelak pecah jua raut gelisahnya
Dan, di bawah payung hitam 10 November, Poetik HAM kembali gema, hanya poster dan tuntutan menjadikannya hujan dan akhirnya redah. Kita hanya mengenang, dan mengenang.
Sejak sajak berbicara kemanusiaan, api adalah revolusi, dan barahnya jejak sejarah. Sekali senyap kita sendiri yang menyayat kematian.