VIDEO

Pamali, Sebagai Benteng Pertahanan Kelestarian Hutan

×

Pamali, Sebagai Benteng Pertahanan Kelestarian Hutan

Sebarkan artikel ini

MEREBEJA.COM – Leluhur bangsa ini telah membuat dan melakukan ragam cara dalam merawat alam serta mempertahankan keberlangsungan ekosistemnya. Buah dari kesadaran serta tingkatan kecerdasan yang tak semua bangsa mampu mencapainya, leluhur kita telah berada di level adiluhung dan paripurna.

Terkhusus di masyarakat Sunda dikenal istilah pamali, sebuah kerangka berfikir yang berangkat dari pola hukum sebab akibat. Pamali dalam konteks menjaga alam dan lingkungan, hingga kini masih dipatuhi dan dijalankan. Terlebih bagi kelompok masyarakat adat, yang notabene masih kukuh menjalankan amanat para leluhurnya.

Salah satu wilayah yang tetap teguh memegang pamali adalah Kampung Adat Kuta. Sebuah dusun yang terletak di Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Masyarakat umum menjuluki tempat ini sebagai ‘Kampung Seribu Pantangan’, mengingat banyaknya aturan yang dijalankan penduduk di Kampung Kuta ini sejak ratusan tahun lalu. Semua aturan itu terangkum dalam pamali, yang senantiasa diimplementasikan masyarakat kampung ini dalam kehidupan sehari-hari.

Ada pula sebuah kalimat folosofis yang berbunyi ‘tebing kayuan bambuan, rendah empangan, rata sawahan rumahan’. Seperti yang dijelaskan Warja, sesepuh Kampung Adat Kuta.

Entah kapan kalimat yang mengandung peringatan ini dibuat, yang jelas, kalimat tersebut hingga kini menjadi pedoman hidup masyarakat Kampung Adat Kuta, terutama pada hal yang erat kaitannya dengan kelestarian hutan dan lingkungan.

Tebing kayuan bambuan berarti jangan sampai tebing digunduli, sebab nantinya pohon tidak bisa menahan air dan mengakibatkan longsor. Rendah empangan berarti, membuat kolam di tempat yang sudah tersedia air saja, tidak harus meratakan gunung atau lokasi yang mengganggu ekosistem lain. Rata sawahan rumahan bebarti membuat sawah dan rumah harus di tempat yang rata, jangan memaksakan di tempat yang berpotensi merusak alam. Bahkan, mereka menyebut wilayahnya sebagai tanah suci, karena tidak adanya pemakaman di kampung ini dengan alasan yang jelas, agar tidak merusak alam.

Kampung Adat Kuta memiliki hutan lindung seluas kurang lebih 40 hektare. Masyarakat setempat menyebutnya dengan leuweung kramat. Hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu keberadaannya dan sangat disakralkan. Untuk memasuki area hutan ini pun hanya pada waktu-waktu tertentu, yakni satu minggu dua kali pada hari Senin dan Jumat. Tidak boleh menggunakan alas kaki, buang air, hingga meludah. Juru kunci pun wajib melakukan ritual ketika memasuki hutan ini.

Di hutan kramat ini, puluhan jenis pohon masih sangat terjaga, begitu pun dengan puluhan jenis satwa-satwanya. Ketika memasuki hutan kramat ini, masih mudah dijumpai beragam jenis burung, kera, lutung, dan hewan lainnya. Berkat keberhasilan masyarakat dalam menjaga hutan lindung ini selama puluhan tahun, pada tahun 2002, masyarakat Kampung Adat Kuta diganjar penghargaan Kalpataru dari Presiden Megawati Soekarno Puteri. Selain itu, Kampung Adat Kuta juga telah banyak mendapatkan berbaga penghargaan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan.

Bagi masyarakat Kampung Adat Kuta, pamali adalah benteng pertahanan dalam melestarikan alam. Komitmen serta konsistensi dalam menjaga lingkungan, terus dipegang kuat oleh mereka.