MEREBEJA.COM – Al-Azhar memang dikenal memiliki ikatan erat dengan Indonesia, baik karena pelajar Indonesia yang cukup banyak melanjutkan studi di sana atau pun karena kedekatan ideologis dan mazhab, yang sama-sama Ahlussunnah waljama’ah. Para Syaikh dan ulama Al-Azhar sering kali berkunjung ke Indonesia. Baru-baru ini, Prof. Dr. Muhammad Al-Dhuaini berkunjung ke Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta sebagaimana disampaikan oleh Kiai Cholil Nafis selaku pengurus MUI Pusat.
“Siang kemarin kedatangan tamu Wakil Syaikhul Azhar Prof. Dr. Syaikh Muhammad Al-Dhuwaini di kantor MUI Jl. Proklamasi Jakarta Pusat bersama penasehat perempuan Al Azhar, Dr. Nahlah. Banyak hal yg disampaikan berkenaan dengan manhaj Azhari, wasathiyatul Islam dan pemeliharaan khazanah Islam,” tulis Cholil Nafis di akun fb-nya, Rabu 26 Juni 2024.
Al-Azhar, sebagaimana tulisan Cholil Nafis, memiliki tiga pilar pokok dalam bermanhaj, khazanah klasik (warisan intelektual masa silam), guru yang mumpumi dan mendialogkan dengan kemajuan zaman.
“Syaikh Al Dhuwaini menjelaskan soal manhaj azhar yang berdiri diatas tiga temali pilar pokok, yaitu khazanah klasik, guru yang mumpuni dan mendialogkan dg kemajuan zaman. Maka tiga pilar pokok ini yang menjadikan Al-Azhar terus eksis sejak ribuan tahun lalu,” tulisnya lagi.
Kemoderatan ajaran Islam, menurutnya, tidak lain adalah buah dari memahami khazanah Islam dengan mendalam, tentunya dengan pantauan dan pengajaran dari guru yang memiliki kompetensi tinggi.
“Wasathiyatul Islam tak lepas dari pemahaman teks agama yang mendalam atas khazanah Islam klasik yang dituntun oleh guru yang benar. Paham Islam yg benar itu berangkat dari paham teks agama yang shahih,” tutur Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah tersebut.
“Tentu kunci paham agama yang benar itu berangkat dari mata rantai keilmuan yang sambung sanadnya. Karena ilmu itu harus dari siapa dipelajarinya. Klo sekedar menghafal atau membaca tanpa dibimbing guru maka yg terjadi adalah kesesatan,” tutupnya.