MEREBEJA.COM – Senin, 17 Juni 2024, menjadi momentum penting bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Jepang. Dalam rangka merayakan Hari Raya Idul Adha, meskipun Jepang termasuk salah satu negara dengan jumlah Muslim minoritas, hal ini tidak menjadi dinding pembatas bagi umat Muslim dalam merayakannya. Mulai dari pelaksanaan shalat Idul Adha secara berjamaah hingga tradisi makan daging bersama. Semuanya dilaksanakan dengan penuh semangat.
Latar Belakang Munculnya Perintah Berkurban
Salah satu perintah dan tradisi dalam perayaan hari besar Islam ini adalah berkurban. Berkurban menjadi ikon utama jika kita dibandingkan dengan hari besar Islam lainnya. Perintah dan tradisi ini dimulai dari kisah Nabi Ibrahim a.s. yang diuji keimanan, keikhlasan, dan kesabarannya oleh Allah SWT dengan perintah untuk mengorbankan anak kesayangannya, Ismail a.s. Karena keikhlasannya yang tinggi, Allah SWT mengganti Ismail dengan hewan kurban. Selain keikhlasannya, kesabaran Nabi Ibrahim a.s. juga patut diteladani. Kisah ini mengajarkan kepada umat Muslim pentingnya keikhlasan dan ketaatan tanpa syarat dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Atas dasar itu pula, umat Islam diperintahkan untuk berkurban pada Hari Raya Idul Adha. Sebagaimana yang termaktub QS. Al-Kautsar ayat 2.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”
Tafsiran kata An-Nahr (berkurban)
Mengutip pendapat Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah halaman 566, kata an-Nahr (pada ujung ayat kedua) populer digunakan dalam arti menyembelih binatang sebagai syiar agama. Oleh sebab itu, Hari Raya ‘Idul Adha juga dinamai ‘Id an-Nahr karena saat itu dianjurkan untuk menyembelih binatang sebagai kurban. Seperti unta, kambing, sapi, dan binatang ternak lainnya.
Lantas bagaimana tradisi penyembelihan hewan kurban umat Muslim yang berada di tengah negara minoritas Islam seperti Jepang?
Prosedur Penyembelihan Hewan Kurban di Jepang
Meskipun jumlah umat Muslim di Jepang memiliki skala minoritas, tetapi tidak menjadi penghalang mereka dalam menjalankan tradisi berkurban.
Namun, pelaksanaannya memiliki perbedaan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan di Indonesia. Di Jepang ada upaya adaptasi dengan peraturan pemerintah setempat. Artinya, penyembelihan hewan kurban tidak bisa dilakukan secara bebas seperti di Indonesia.
Hal ini senada dengan pernyataan Ustaz Nasril, salah satu alumni STKQ Al-Hikam yang menjadi Imam besar di Masjid Indonesia Tokyo (MIT), Jepang:
“Di Jepang, potong hewan kurban ada aturannya sendiri. Karena tidak bebas diizinkan memotong hewan (apapun) di tempat umum. Kecuali mendapat izin oleh pemerintah Jepang sehingga masyarakat Muslim di sini untuk pemotongan hewan kurban tinggal memasrahkan kepada tempat pemotongan hewan yang sudah dapat izin dari pemerintah Jepang. Tentunya, ini sesuai prosedur Islam. Kita sendiri tinggal menerima dagingnya”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tradisi penyembelihan hewan kurban di Jepang dilakukan oleh tukang jagal yang sudah mendapat izin pemerintah setempat dan telah memenuhi sertifikasi halal.
Misalnya, Sanda Shokuniku Kosha yang berdiri sejak 2016 dan berlokasi di Kobe, Jepang. Rumah jagal ini sudah bersertifikasi halal sehingga warga Jepang yang menganut agama Islam maupun umat Islam warga negara asing yang tinggal di Jepang dapat melakukan kurban di rumah jagal ini.
Selain bersertifikasi halal, rumah jagal Sanda Shokuniku Kosha juga sudah memenuhi standar kebersihan dan kehigienisan hewan dan daging dari hasil penyembelihan.
Fakta menarik lainnya dari proses penyembelihan hewan kurban di Jepang adalah dilakukan oleh pekerja yang menggunakan perlindungan dan peralatan yang sudah berstandar serta proses pemotongan sudah menggunakan alat bantu berupa mesin jagal. Penggantungan daging setelah disembelih dilakukan dengan alat bantu dan di suhu ruang dingin untuk menghindari kontaminasi pada daging serta menjaga segala bentuk kebersihannya baik dari segi kimia, fisik maupun biologi.