BISNIS

DPR RI Soroti Starlink, Pemerintah Keluarkan Banyak Biaya?

×

DPR RI Soroti Starlink, Pemerintah Keluarkan Banyak Biaya?

Sebarkan artikel ini

MEREBEJA.COM – DPR RI menyoroti beroperasinya layanan intenet berbasis satelit StarLink di Indonesia. Ada desas-desus bahwa Pemerintah membayar ke Perusahaan milik Elon Musk ini untuk layanan pendidikan dan kesehatan di daerah 3T, tertinggal, terdepan dan terluar.

Anggota Komisi IX DPR Yahya Zaini menyebut, dari informasi yang diperolehnya, ternyata ada anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar iuran internet Starlink.

Menurutnya, untuk menikmati layanan internet StarLink, dapat dilakukan dengan membeli alatnya sebesar Rp 7,8 juta per unit, dengan iuran atau tagihan Rp 750 ribu per bulan.

“Jadi bukan dibebaskan ­kepada masyarakat, tapi ­justru membayar. Artinya, kita mengundang investasi luar ­negeri, tapi di­biayai oleh ­negara,” ujar politisi Fraksi Golkar ini di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, dengan negara mem­biayai StarLink di Indonesia tentu menjadi tidak adil. Sebab, internet ini sebenarnya sudah beroperasi di Indonesia. Jika StarLink ini disebar untuk sekolah dan Puskesmas di daerah 3T, tentu biaya yang dikeluarkan negara juga menjadi sangat besar.

“Ini kalau kali 10 ribu jumlah Puskesmas saja, bisa Rp 78 miliar,” ungkapnya.

Dia lantas memper­tanyakan sumber pendanaan untuk membiayai pelayanan koneksi internet untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan di daerah 3T ini.

“Manfaat besar apa yang diperoleh ­dengan menggunakan intenet ini dalam rangka meningkatkan pe­layanan masyarakat. Terutama, bagi puskesmas-puskesmas kita di daerah-daerah tertinggal?” ­katanya.

Anggota Komsi IX DPR Dewi Asmara juga melontarkan hal senada. Dia mempertanyakan sumber pendanaan untuk penguatan infrastruktur kesehatan dan pendidikan di daerah 3T.

“Ini nantinya menggunakan dana BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) atau BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), atau melalui apa nanti? Karena ini kan terintegrasi,” ujar Dewi.

Dia pun berharap bisa terbangun koordinasi yang baik antara masing-masing Kementerian/Lembaga. Sebab yang terjadi, koordinasi tidak berjalan baik. Contohnya, koordinasi antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam penanganan stunting, walau intervensi yang dibangun dua kementerian ini kepada Puskesmas sudah sangat baik, namun hasilnya kurang maksimal.

“Kami berharap untuk StarLink ini, semua kebijakan bagus implementasinya. Tidak semata-mata Kemenkes ini yang kita pikirkan. Jangan bikin ide bagus tapi menguap di jalan sebelum sampai kepada rakyat,” katanya.

Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty meminta pemerintah bersikap adil dan konsisten atas mulai ber­operasinya StarLink di Indo­nesia.

Dia mengaku khawatir dua-tiga tahun lagi perusahaan tele­komunikasi dan internet di Indonesia berpotensi bangkrut, dan negara kehilangan kontrol langsung atas infrastruktur komunikasi.

“Saya harap pemerintah ­mendengar juga suara operator kita di dalam negeri yang selama ini telah berpartisipasi dalam pembangunan telekomunikasi dan internet di Indonesia. ­Berikan mereka equal playing field dengan keadilan dalam pem­berlakuan pemenuhan kewajiban masing-masing,” tuturnya.

Dirinya mengaku heran, StarLink yang dimiliki Elon Musk, disambut bak raja, diberi karpet merah, dengan gampang di­berikan market. Padahal Indo­nesia memiliki program satelit sendiri dan transformasi digital. Di sisi lain, sampai detik ini, walau ­terus dibujuk-bujuk ­untuk ­investasi Tesla di Indonesia, Elon Musk malah memilih negara lain.

Menurutnya, seharusnya StarLink memenuhi berbagai kewajiban yang sama seperti perusahaan asing lainnya yang beroperasi di Indonesia.

Seperti kewajiban pendirian badan usaha yang berkedudukan di Indonesia, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), aspek potensi interferensi, penerapan kebijakan perpajakan dan ­pembayaran Penerimaan ­Negara ­Bukan Pajak (PNBP). Lalu, kewajiban pemenuhan ­Quality of Service (QoS), aspek per­lin­dungan dan keamanan data, serta aspek kedaulatan bangsa.

“Ancaman-ancaman ini dapat berdampak negatif terhadap operator lokal di Indonesia, baik dari segi pendapatan, penetrasi pasar, maupun posisi bersaing dalam industri telekomunikasi domestik. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang jelas, kerja sama dengan pemangku kepen­tingan, dan strategi bisnis yang adaptif,” tegas Evita.