MEREBEJA.COM- Aliansi Peduli Rakyat Lembata (Ampera) Kupang, gelar aksi demontrasi tolak geothermal yang akan di bangun di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Aksi demontrasi Ampera tersebut berlangsung di depan kantor Gubernur dan kantor DPRD Provinsi NTT, pada Senin (01/07/2024).
Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat NTT, khususnya masyarakat adat Atadei, Lembata yang terancam kehilangan haknya.
Massa aksi Ampera yang tergabung dari sejumlah organisasi mahasiswa itu, terlihat membawa spanduk berisi kecaman dan penolakan terhadap geothermal “Geothermal Bukan Solusi”.
Massa aksi menyayangkan, kebijakan pemerintah menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi (Flores Geothermal Island) melalui Kepmen ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017 dengan tujuan pemerataan kemandirian dan ketahanan energi.
Merujuk Surat Menteri ESDM No. 2966/K/30/MEM/2008 tentang Penetapan wilayah kerja tambang panas bumi di daerah Atadei, Lembata seluas 31.200 Hektar.
Pasalnya geothermal bukan kebutuhan prioritas masyarakat dan kehadiran geothermal membuat masyarakat harus kehilangan hak atas tanah sebagai tempat sandaran utama dalam menghidupi keluarga. Menimbang, pada umumnya wilayah panas bumi membutuhkan lahan yang cukup besar.
Disisi lain geothermal akan membuat produktivitas tanah semakin kecil dan merusak tanaman pertanian/perkebunan yang selama ini manfaatkan untuk kebutuhan pokok masyarakat adat Lembata.
Koordinator lapangan rical, mengatakan bahwa, geothermal memang harus ditolak pasalnya kehadiran geothermal hanya memenuhi kepentingan kelas investor bukan memenuhi kebutuhan masyarakat kecil.
“Kepentingan Negara dengan sistem investasi yang mementingkan kelas-kelas investor bukan kelas masyarakat kecil, perlu kita lakukan penolakan,” ujarnya.
Rical menyambung katanya, Negara hari ini hadir sebagai alat penindas masyarakat lebih mementingkan investasi lewat penetapan undang-undang omnibus law.
“Dalih Negara dalam menetapakan wilayah Atadei sebagai wilayah geothermal itu, untuk membuka penerangan bagi masyarakat Lembata namun jika dikaji lebih jau, penerangan tanpa lahan produktif yang dikelolah oleh masyarakat maka itu sama saja lampu itu menyala masyarakat mati kelaparan,” ungkapnya.
Rical pun memberikan kritik terhadap sikap DPRD Provinsi NTT setelah terlaksananya audiens dalam aksi demontrasi tersebut.
“DPRD ini hanya tau marah-marah mahasiswa dengan alasan tidak jelas. Padahal kami datang ini menyampaikan aspirasi masyarakat bukan membuat kerusuhan,” pungkasnya.
“Saya mewakili massa aksi dalam aksi demontrasi penolakan Geothermal hari ini bahwa kedepannya DPRD Provinsi NTT harus lebih profesional dalam menjalankan tugas dan menerima aspirasi masyarakat,” tegasnya.
Adapun dalam aksi tersebut, massa aksi melakukan orasi dan menyampaikan 12 poin tuntutan, yakni:
1. Cabut SK Kementerian ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017.
2. Cabut izin prinsip PLTP Atadei No. 01/5313/IP/PMDN/2020.
3. Hentikan politik pecah belah yang dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang.
4. Cabut SK Menteri ESDM No. 2966/K/30/MEM/2008 tentang penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi di daerah Atadei, Kabupaten Lembata.
5. Mendesak Bupati Lembata dan Pihak PT PLN untuk mencabut izin dan menghentikan pembangunan geothermal di Atadei, Lembata.
6. Mengutuk keterlibatan kampus dalam Institut Teknologi 10 November yang turut menyusun dokumen UKL-UPL terkait eksplorasi panas bumi di Atadei, Lembata.
7. Berikan kepastian status tanah terhadap masyarakat Eks Tim Tim dan bangun rumah layak huni di camp-camp yang ada.
8. Tolak relokasi masyarakat Eks Tim Tim di desa Kiu Masi.
9. Tutup PT IDK tambak garam di Malaka.
10. Mendesak PT PLN dan pemerintah untuk menghentikan pembangunan geothermal di Poco Leok.
11. Mendesak Kapolda NTT untuk menindak tegas aparat yang melakukan tindakan represif masyarakat yang berjuang.
12. Wujudkan reforma agraria sejati dan bangun industrialisasi nasional yang mandiri dan berdaulat.